CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Saturday, February 25, 2006

Kebisuanmu

Jalan ini sudah terlalu panjang untuk kulalui
Tiada terkira aku akan menjadi bisu
sesaat ketika kutanya dan kau berlalu

Mungkin ini sudah menjadi jalanku
selalu berada di persimpangan semu
dan buram cahayaku seperti pertanda
kesuraman kasihku

Tak ingin lagi berjalan di jalan ini
karena mengingatkanku pada bayang senyummu di awal senja
Tak ingin lagi mengingatimu
Jika setiap malam hatiku terikat padamu

Biarlah kupalingkan wajahku
Meski sudut hatiku menyebutimu
Tidak usah bertanya lagi
Jawabmu ada diketidakacuhanmu

Rivers of Me
Melody still gain in my strain

Friday, February 24, 2006

Kebencian Terperikan

Aku tidak tahu seperti apa sebenarnya makna kebencian itu. Bukan berarti aku tidak pernah membenci orang. Aku ingat, ketika masih kecil dan hidup di sebuah lingkungan sederhana. Anak-anak sebayaku selalu mengejekku Cina jika mereka tidak suka dengan aku.

Parahnya lagi, kadang-kadang mereka mencibir dan mengatakan Cina makan babi. Aku masih ingat, aku benci temanku itu dan kami akhirnya berdamai ketika kedua orang tua mempertemukan kami. Nama temanku itu Sinar. Hingga kini, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya ketika keluarganya memutuskan pindah dari kota kecil tempat keluargaku tinggal.

Sepanjang ingatanku, aku berusaha memendam kebencian jika ada yang menyakiti hatiku. Sebabnya, sekali aku membenci seseorang maka aku tidak akan pernah melupakannya seumur hidupku. Meski kata almarhum bapakku, kebencian itu seperti racun yang sengaja kita minum dan membiarkannya menjalari setiap urat nadi kita. Aku tidak mau seperti itu.

Hanya saja, aku tidak suka bersikap abu-abu. Sekali hitam, ya hitam. Sekali putih ya putih. Yang aku alami mengajarkan aku banyak hal seperti sikap abu-abu manusia yang terkadang manis di depan ternyata menikam di belakang.

Akhir-akhir ini, aku merasa dalam tanda kutip bahwa semua orang menyerangku. Orang menyebutnya, mungkin, fobia, tapi aku lebih senang menyebutnya insting. Seperti beberapa hari lalu, seorang teman kantor sebut saja M menyerangku. Aku awalnya, tidak menanggapi namun aku melihat ada sebuah agresitivitas dalam nada bicara yang kemudian membuatku bersikap defensif kepadanya.

Aku sudah mulai merasakannya sejak lama. Beberapa teman kantor perempuan berbisik-bisik di belakangku. Teman-teman lelaki suka merasa aku terlalu diperhatikan oleh bos. Padahal, kalau saja mereka sadar,dalam sebuah perusahaan profesional, yang ada adalah tanggung jawab, kerja keras, serta kecerdasan, dan satu persen mungkin keberuntungan.

Kamis (23/), aku meninggikan suaraku kepadanya karena ia sudah menjatuhkan diriku. aku tidak ingin terpancing tapi dia harus diberi sebuah garis tegas bahwa aku bisa saja melakukan apapun meski aku perempuan. Kalau ingin berantem secara fisik it's oke. Tapi, itu pilihan yang terakhir.

Di satu sisi, aku senang jika pekerjaanku dihargai tetapi di sisi lain, aku merasa jurang kecemburuan di kantor makin melebar. Terlebih jika kantor mempercayakan beberapa tugas penting kepadaku.

Aku pernah mempertanyakan kepada redaktur di kantor soal pembebanan itu. Tetapi, dengan singkat ia menjawab bahwa ada beberapa pekerjaan yang hanya bisa ditangani satu orang dan jika didelegasikan malah membuat pekerjaan itu tidak akan jadi.

Aku hanya berdoa, sesuai dengan keyakinanku, agar aku bisa menjalani hidup sesuai dengan prinsip yang aku pegang sampai aku mati.

For River of Me
Always Inspiring