CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Sunday, July 23, 2006

Kisah Si Buta dan Si Bungkuk

Saya sering mendengar orang-orang sangat bangga dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Mata yang indah, kulit yang mulus, kaki yang jenjang, otak yang cerdas, bahkan sikap playboy-nya yang tidak ketulungan.

Jika mereka sudah memiliki segalanya sepertinya rasa tidak puas selalu berada di kepala mereka. Operasi plastik dan macam-macam, suatu hal yang jujur saja saya tidak mau mencampurinya. Itu hak yang ada pada orang yang merasa dirinya memiliki uang (barangkali juga yang kaya mendadak).

Tapi, satu hal yang selalu saya pelajari dari orang-orang tua terdahulu bahwa hidup ini adalah sebuah lembaran yang harus diisi. Alam menjadi tempat pembelajaran manusia tentang makna kehidupan yang diembannya di muka bumi.

Seperti hari ini. Saya belajar tentang makna sebuah kesabaran dan kepekaan manusia terhadap sesamanya. Bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa setiap diri kita ini adalah pada hakekatnya adalah satu.

Saya belajar dari seorang laki-laki buta. Hati saya sempat tertegun ketika melihatnya duduk sendirian di atas angkutan kota dan mata yang terbuka tapi sebenarnya tak bisa melihat. Awalnya, saya mengira, ia tertidur, suatu hal yang biasa terjadi di atas angkot jika menempuh perjalanan jauh.

Tetapi, saat ia berkata," Pak, singgah di pabrik gelas (sebenarnya itu bekas pabrik gelas karena sebentar lagi sebuh trade center akan menggantikannya)," katanya, dan hati saya terenyuh ketika melihat bahwa matanya sebenarnya tidak bisa melihat.

Sang sopir angkot mengangguk, seolah tak menyadari bahwa yang mengajaknya berbicara adalah seorang yang atas kuasa Tuhan memberikan rahmat kepada dua matanya. Mengapa saya katakan rahmat, karena dengan kebutaannya itu mengajarkan kepada setiap orang tentang makna sebuah kesempurnaan kepada mata yang sehat.

Ia lalu turun dan tak terasa mata saya berkaca-kaca dan tak ingin dikatakan sok, maka saya berdoa dalam hati semoga ada yang menyeberangkannya ke tujuannya. "Puskesmas ya Pak," dan sekali lagi Pak Sopir mengangguk dan anehnya sepertinya lelaki buta itu mengerti bahasa tubuh tersebut meski tak usah dikatakan dengan penggalan susunan huruf.

Tangannya kemudian merogoh kantongnya dan dengan kedua tangan ia memilah-milah segepok uang seribuan yang lusuh dan menyerahkannya tiga ribu perak. Sang sopir mengembalikan lima ratus perak dan angkot pun segera melaju. Dari jauh, lelaki buta itu sejenak terpekur dan seandainya, ya seandainya saja, saya tidak ingin dibilang sok maka saya akan turun dan mengantarnya ke tujuannya. Tapi, saya tidak punya keberanian untuk itu karena memang saya tidak punya nyali untuk dicemooh oleh orang-orang.

Tapi, sedetik kemudian saya melihat seorang laki-laki bungkuk mendatanginya dan segera menuntun lelaki buta itu ke tujuannya. Tanpa saya sadari, tubuh saya gemetar dan berdoa semoga Tuhan memberikan rahmatnya kepada kedua orang tersebut. Saya belajar banyak hal dari ketidaksempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia dan bagi saya itulah kesempurnaan jiwa yang hendak ditunjukkan Tuhan kepada saya

(Minggu, 23 Juli, pukul 17.38, Jl Cenderawasih, Makassar)
God, I Hope You Live in My Heart, Forever
Thank For Teaching Me

1 komentar:

nuno said...

halo mbak widya...wah blog nya bagus, cuma gak ada shoutboxnya...di kasih shoutbox gitu lhoh
oh iya juga dah bikin blog
www.nagamuda.blogspot.com